Jacob Ereste: Cerita Tentang Kaum Sufi - WAMENA NEWS

Rabu, 02 November 2022

Jacob Ereste: Cerita Tentang Kaum Sufi

SELAT SUNDA | Laku spiritual itu sangat gampang dan sederhana, sehingga sosok pelakunya pun terkesan sederhana. Itu kata guru ngaji saya dulu di kampung, ketika menjawab pertanyaan tentang kaum sufi dan sejenisnya.

Laku spiritual itu adalah cara melangkah dengan tulus dan riang, tanpa beban menuju rumah Tuhan. Jika punkemudian ada persinggungan di jalan, dapat segera dipahami  sebagai sapaan dari segenap kemudian belaka. Sebab semua orang harus dilihat keraramahannya. Semua sebagai sahabat serta saudara yang tak perlu dicurigai memiliki juat jahat Lapar dan dahaga pun  harus dapat  dinikmati seperti lauk pauk pelengkap santapan. Semua selalu dalam ingatan yang nikmat. Persis seperti waktu menikmati makanan maupun minuman yang paling lezat, sehingga rasa syukur terus mengucur tiada henti atas segala nikmat dan karunia Tuhan.

Sebagai anggota suatu keluarga selalu siaga menjaga marwah semua. Sebagai kawan, selalu siap untuk merawat kesetiaan serta kebersamaan. Dan sebagai pekerja tetap tekun dengan melakukan kewajiban sebagai bagian dari ibadah yang dilakukan dengan penuh rasa  cinta.

Ketika harus memimpin, tak akan bersikap  semena-mena. Bila menjadi pengusaha, tiada akan menindas dan memeras pekerja. Saat menjadi guru atau dosen, tidak akan pernah merasa paling benar sendiri. Begitu juga sebagai aktivis, jangan pernah merasa yang paling baik diantara yang lain.

Ketika berbicara harus siap juga untuk mendengar, tak kala kenyang, jangan pernah melupakan mereka yang lapar. Sehingga hidup bisa dijinakkan dari ketamakan dan kerakusan. Bahkan sikap egosentrisitas bisa dikendalikan sampai titik nol. Apalagi hasrat untuk merebut hak orang lain.

Jadi, pesan guru ngaji saya di surau yang kimi sudah digusur Pak Lurah untuk warung modern, kaum sufi  yang selalh mencari.jalan yang sepi dan sunyi itu untuk menghindar dari jefaduhan duniawi  yang tidak akan pernah merasa selesai untuk dikerjakan. Lalu suara dari langit  menjadi sulit untuk didengar, apalagi hendak disimak semua pesan itu yang selalu datang bersama angin, bahkan berikut hujan dan petir yang menyapa manusia dengan sangat terang dan lugas.

Bahasa batin pun yang diterima oleh ruh dan jiwa tidak tertangkap suara dan gemanya. Karena frekuensi hati terputus konektingnya dengan jiwa. Begitulah isyarat sang penyair besar Indonesia menyebut, langit di luar dan langit di dalam bersatu dalam jiwa.

Jika langit di luar itu adalah akal dan fisik, maka langit di dalam adalah ruh yang harus berpadu dalam kerinduan yang tak terjamah dan tidak mungkin digantikan oleh apapun bentuknya , karena wujudnya adalah pemberian Tuhan. Maka itu, merugilah siapa saja yang menyia-nyiakan anugrah Tuhan itu. Karena Tuhan memang hanya mau memberikan kepada manusia pilihan alam semesta yang selalu setia memberi kesaksian.

Selat Sunda, 1 April 2018

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda